Rabu, 14 Januari 2015

Sistem Ekonomi


Pengertian Sistem Ekonomi
Sistem ekonomi dapat diartikan sebagai suatu perangkat dari kebiasaan, hukum-hukum, aturan-aturan dan pengaturan yang berhubungan dengan produksi, pertukaran dan konsumsi barang dan jasa. Sistem ekonomi bias juga berarti keseluruhan lembaga ekonomi yang digunakan suatu Negara, masyarakat atau bangsa dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam arti yang lebih sederhana, sistem ekonomi berarti cara suatu masyarakat mengatur kehidupan perekonomiannya.
Sistem ekonomi Islam jika diterjemahkan ke bahasa arab akan menjadi an nizhôm al iqtishâd al islâmy. Secara harfiah al iqtishâd (ekonomi) berarti qashada: bertujuan dalam suatu perkara, tidak berlebihan, berhemat dalam membelanjakan uang atau tidak boros.
Pemilihan suatu sistem ekonomi oleh suatu negara akan dipengaruhi nilai sosial atau falsafah yang dianut masyarakat atau negara yang bersangkutan. Contohnya: Amerika Serikat yang menganut paham liberal, maka Negara ini pula sistem ekonominya liberal (kapitalis). Indonesia yang menganut falsafah Pancasila, maka sistem ekonominya dinamakan sistem ekonomi demokrasi Pancasila.
Sistem ekonomi berbeda berdasarkan cara memiliki dan mengendalikan lima faktor produksi (sumber daya dasar yang digunakan dunia bisnis Negara tertentu untuk memproduksi barang dan jasa), yakni :

a.       Tenaga Kerja atau Sumber Daya Manusia
Kemampuan fisik dan mental banyak orang sewaktu mereka berkontribusi pada produksi yang ada pada perekonomian. Sumber daya manusia juga seing didefinisikan sebagai orang-orang yang bekerja untuk bisnis dengan memberikan tenaga dan kemampuannya dalam bekerja.
b.      Modal
Adalah dana yang dibutuhkan untuk memulai suatu bisnis dan menjaganya agar tetap beroperasi dan tumbuh dengan baik. Modal juga dapat mencakup suatu nilai pasar atau nilai saham suatu perusahaan. Penerimaan dari penjualan produk juga merupakan sumber modal yang penting.
c.       Wirausahawan
Adalah suatu individu yang menanggung resiko dan peluang termasuk menciptakan dan mengoperasikan suatu bisnis yang baru. Kebanyakan sistem perekonomian selalu mendorong dan membimbing para wirausahawan untuk memulai bisnis baru sekaligus mengambil keputusan yang mengubah bisnis kecil menjadi bisnis besar sehingga berkapasitas untuk berubah menjadi suatu pasar yang baru.
d.      Sumber Daya Fisik
Adalah hal-hal berwujud yang dapat digunakan oleh organisasi dalam melaksanakan suatu bisnis mereka. Sumber-sumber daya fisik meliputi, sumber daya alam, fasilitas, suku cadang dan perlengkapan serta peralatan-peralatan lain.
e.       Sumber Daya Informasi
Merupakan suatu atau beberapa data atau informasi lain yang digunakan oleh bisnis. Produksi barang-barang berwujud dulu pernah mendominasi kebanyakkan sistem ekonomi, namun saat ini sumber daya informasi memakai peranan utama. Hal ini disebabkan karena bisnis saat ini sangat bergantung pada prediksi pasar, orang-orang dengan keahlian tertentu, serta berbagai data ekonomi yang digunakan untuk membantu bisnis mereka.

Macam-Macam Sistem Ekonomi
1.      Sistem Ekonomi Kapitalis
Kapitalisme adalah salah satu pola pandang manusia dalam segala kegiatan ekonominya. Kapitalisme atau kapital adalah suatu paham yang meyakini bahwa pemilik modal bisa melakukan usahanya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Demi prinsip tersebut, maka pemerintah tidak dapat melakukan intervensi pasar guna keuntungan bersama. Beberapa ahli mendefinisikan kapitalisme sebagai sebuah sistem yang mulai berlaku di Eropa pada abad ke-16 hingga abad ke-19. Untuk mendapatkan modal, para kapitalis harus mendapatkan bahan baku dan mesin dahulu, baru buruh sebagai operator mesin dan juga untuk mendapatkan nilai lebih dari bahan baku tersebut agar usaha dapat berjalan lancar. Saat ini, kapitalisme tidak hanya dipandang sebagai suatu pandangan hidup yang menginginkan keuntungan belaka.
2.      Sistem Ekonomi Liberal
Sistem Ekonomi Liberal ialah sistem ekonomi yang bergerak kearah menuju pasar bebas dan sistem ekonomi berpaham perdagangan bebas dalam era globalisasi yang bertujuan menghilangkan kebijakan ekonomi proteksionisme.
Mula-mula ditemukan pada suatu tradisi penerangan atau keringanan yang bersifat membatasi batas-batas dari kekuasaan dan tenaga politis, yang menggambarkan pendukungan kebebasan individu.Teori itu juga bersifat membebaskan individu untuk bertindak sesuka hati sesuai kepentingan dirinya sendiri dan membiarkan semua individu untuk melakukan pekerjaan tanpa pembatasan yang nantinya dituntut untuk menghasilkan suatu hasil yang terbaik, menyajikan suatu benda dengan batas minimum namun dapat diminati dan disukai oleh masyarakat (konsumen).



3.      Sistem Ekonomi Kerakyatan
Menurut Guru Besar, Prof. Dr. Mubyarto, sistem ekonomi kerakyatan adalah system ekonomi yang berasas kekeluargaan, berkedaulatan rakyat, dan menunjukkan pemihakan sungguh – sungguh pada ekonomi rakyat.
Ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan ekonomi rakyat. Dimana ekonomi rakyat sendiri adalah sebagai kegiatan ekonomi atau usaha yang dilakukan oleh rakyat kebanyakan dengan secara mengelola sumber daya ekonomi apa saja yang dapat diusahakan dan dikuasainya, terutama meliputi sektor pertanian, peternakan, kerajinan, makanan, dsb., yang ditujukan terutama untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan keluarganya tanpa harus mengorbankan kepentingan masyarakat lainnya.
Ekonomi kerakyatan ini dikembangkan berdasarkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat lokal dalam mengelola lingkungan dan tanah mereka secara turun temurun. Kesemua kegiatan ekonomi tersebut dilakukan dengan pasar tradisional dan berbasis masyarakat, artinya hanya ditujukan untuk menghidupi dan memenuhi kebutuhan hidup masyarakatnya sendiri.  Salah satu harapan dari sistem ekonomi kerakyatan ini yaitu agar hasil dari pertumbuhan tersebut bisa dinikmati sampai pada lapisan masyarakat paling bawah.
Perbedaan antara Hubungan Sistem Ekonomi Liberal, Kapitalis dan Kerakyatan
-       Sistem ekonomi kapitalis lebih menitikberatkan keputusan dan juga perekonomian negaranya kepada pemilik modal yang memiliki kekuatan yang sangat besar.
-       Sistem ekonomi liberal perekonomiannya lebih diserahkan kepada mekanisme pasar. Mekanisme pasar disini artinya perekonomian dan juga kebijakan lebih dititikberatkan pada kebutuhan dan penawaran dari pasar.
-       Sistem ekonomi kerakyatan yang menekankan kebijakan terpusat guna tetap dapat mensejahterakan dan juga mengayomi ekonomi masyarakatnya.

Persamaan antara Hubungan Sistem Ekonomi Liberal, Kapitalis dan Kerakyatan

Kesamaan yang dapat menyatukan ketiganya yaitu :
Tujuan dan juga hasil akhir yang diharapkan dari sistem ekonomi tersebut. Ketiga sistem ekonomi ini disusun dan diaplikasikan di dalam suatu negara tujuannya tidak lain adalah untuk mengatur perekonomian suatu negara secara efektif sehingga dapat terwujud suatu perekonomian yang baik dan membawa kesejahteraan dan juga perekonomian bagi warga negaranya.




Karakteristik ekonomi Islam

Dr. Dawabah menyebutkan setidaknya ada 5 jenis karakteristik ekonomi Islam:

a.       Spirit ketuhanan (Robbaniyah)
Sebagaimana diketahui bahwa Islam adalah sebuah agama yang merujuk semua perkaranya kepada Allah dengan konsep ketuhanan. Tidak hanya merujuk, bahkan segala kegiatan tujuannya adalah perkara yang bersifat ketuhanan.
Maka sebagaimana Islam selalu menanamkan akhlaq dan adab dalam segala aspek kehidupan diterapkan pula dalam hal interaksi perkonomian, sehingga nantinya dapat menciptakan masyarakat yang tentram serta seimbang perkonomiannya.

b.      Keseluruhan (syumûliah)
Sistem ekonomi Islam tidak lain merupakan sebuah cakupan dari ketetapan-ketetapan yang berlaku dalam Islam. Karena Islam merupakan sebuah sistem yang mengatur segala aspek kehidupan yang masuk di dalamnya aspek perekonomian. Dengan masuknya ekonomi sebagai salah satu aspek kehidupan dalam Islam, maka tidak mungkin ada produsen yang memproduksi barang di dasarkan atas kemauannya saja. Tetapi dia juga pasti mempertimbangkan akan halal dan haramnya. Para produsen tidak juga memproduksi sesuatu yang mengandung hal-hal membahayakan konsumen atau lingkungannya. Dan berbagai perbuatan lainnya akan disesuaikan dengan aspek dan ketentuan yang ada dalam Islam.

c.       Fleksibilitas (murûnah)
Kaidah-Kaidah dalam Islam bersifat shôlihun likulli zamân wa makân (waktu dan tempat). Tentunya hal itu berkaitan erat dengan tsawabit (sesuatu yang sudah tetap) serta mutaghayyirat (hal yang masih berubah-ubah) yang berasaskan hal-hal ushul (pokok) dalam agama dan furu’nya (cabang). Dengan model yang disebutkan tadi berbagai macam kejadian bisa disesuaikan dengan hukum-hukum fiqh yang ada.
Tapi fleksibilitas yang dimaksud di sini harus lebih ditinjau lagi. Dr. Rif’at Audhy: Mausu’atul Hadhoroh al Islamiyah menerangkannya dengan cukup jelas. Fleksibilitas dalam Islam mempunyai sisi yang tidak bisa diterima dan ada yang bisa. Adapun sisi yang tidak diterima yaitu ketika suatu permasalahan bisa dihukumi dengan dua hukum yang berbeda sesuai perbedaan kondisi alias kondisional.

d.      Keseimbangan (tawâzun)
Keseimbangan antara dunia dan akhirat dan juga keseimbangan antara iman dan perekonomian serta keseimbangan antara boros dan kikir. Islam juga memberi keselarasan antara kebutuhan rohani dan kebutuhan materi dengan memberi porsi yang sesuai antara keduanya.
Hal penting lain dari konsep keseimbangan ini adalah sebuah sikap yang tidak condong pada kapitalis ataupun sosialis. Islam punya kedudukannya sendiri dalam hal ini, yaitu berada di antara keduanya dengan tidak menafikan kepemilikan individual ataupun kepemilikan sosial sebagaimana yang akan dibahas lebih dalam di bab lain dari makalah ini. Islam memiliki batasan-batasannya sendiri antara kepentingan negara dan individual dalam ekonomi sehingga dapat menyeimbangkan antara keduanya.
Asas dari kepemilikan dalam Islam adalah kepemilikan individual karena hal itu dianggap sesuatu yang fitrah dalam Islam. Karena kepemilikan individual ini merupakan pemeran utama dalam kinerja produksi. Sedangkan kepemilikan umum baru dianggap pada saat-saat tertentu sehingga memaksa negara untuk turun tangan dalam menyelesaikannya. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan konsep kapitalisme yang benar-benar meniadakan peran negara dalam mekanisme ekonomi. ataupun konsep sosialisme membangun asas perkonomian mereka atas kepemilikan umum yang malah mengurangi gairah untuk berproduksi.
Rumusan kapitalis dan sosialis memang sangat berbeda denga Islam yang mengatur hubungan antara individual dan negara dalam ranah perkonomian. Islam menyatakan bahwa keduanya itu saling melengkapi, dimana setiap dari keduanya mempunyai denah aplikasi masing-masing hingga tidak bertentangan. Selain itu keduanya merupakan kutub yang saling berhubungan dan tidak berdiri sendiri. Maka dari itu, pertumbuhan ekonomi dalam Islam menjadi kewajiban negara dan individual secara bersamaan.
Dengan begini setidaknya batasan antara kebebasan dan intervensi pemerintah dalam mekanisme ekonomi Islam. Dalam ekonomi Islam, negara bukanlah suatu unsur yang bertentangan ataupun pengganti dari unsur lain, melainkan unsur pelengkap. Seperti melakukan hal-hal yang sepertinya agak sulit dilakukan secara individu layaknya perbaikan jalan, jembatan, dll. Bahkan posisi negara terkadang menjadi sangat penting layaknya saat kekurangan lembaga pendidikan atau lembaga kesehatan di suatu daerah.
Jelas sudah bahwa intervensi negara dalam ekonomi Islam tidaklah sesuatu yang bertentangan dengan kebebasan individual. Bahkan ia menjadi unsur pelengkap untuk menciptakan maslahat umum. Hal itu bisa disaksikan lagi dengan adanya kewajiban zakat yang dikeluarkan oleh individual untuk selanjutnya dikelola oleh negara. Di sini didapati bukan saja keseimbangan antara negara dan individu, tapi juga keseimbangan dan kemerataan putaran harta. Sehingga pada akhirnya tidak tercipta jurang pemisah yang terlalu lebar antara si kaya dan si miskin.

e.       Keuniversalan (‘âlamiyyah)
Konsep keuniversalan ini sudah ada sejak diutusnya Rasul ke atas bumi, karena tidak lain diutusnya Rasul adalah sebagai rahmat bagi seluruh alam. Keuniversalan ekonomi Islam semakin terasa jelas setelah datangnya krisis global yang melanda AS dan belahan negara lain pada tahun 2008. Sejak saat itu beberapa negara barat mulai menerapkan ekonomi Islam.

Dasar-dasar Sistem Ekonomi Islam

Maksud penciptaan manusia memang tidak lain untuk beribadah kepada Sang Pencipta, sebagai mana juga dieperintahkan untuk memakmurkan bumiNya dengan adil. Maka dari itu Allah telah menyiapkan bumi ini agar bisa dimanfaatkan dan menjadikan manusia sebagai pemimpin di atas bumi itu agar dapat memanfaatkan segala yang ada. Dari prinsip penciptaan dan konsep kepemimpinan manusia di atas bumi setidaknya bisa ditarik benang merah untuk membangun prinsip ekonomi dalam Islam, yaitu: kepemilikan ganda (kepemilikan individual dan kepemilikan umum), kebebasan berkonomi, serta mengayomi kepentingan umum.

a.       Kepemilikan Individual
Manusia diciptakan dengan fitrah yang sudah ditetapkan oleh Allah dan tidak akan keluar dari fitrah tersebut. Hal itu sesuai dengan dengan firmanNya surat  ar Rum ayat 30 “30.  Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” Kemudian ada sebuah hadits yang juga berbicara tentang hal yang sama “Tidaklah seseorang itu dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi atau Nasrani atau Majusi.”
Ketika fitrah yang dimaksudkan adalah hal yang mencakup segala aspek kehidupan, maka apa sebenarnya fitrah manusia dalam hal keuangan dan perkonomian? Allah berfirman dalam surat al ‘Adiyat ayat 8 “Dan Sesungguhnya dia sangat bakhil Karena cintanya kepada harta.” Meskipun para ahli tafsir mempunyai perbedaan pendapat tentang hakekat dari ‘berlebihan’ dalam hal kecintaan mereka ini, tapi perbedaan itu tidak begitu jauh, yang intinya manusia itu menyukai harta.
Berlandaskan dari yang disebutkan di atas, maka syariah memberi jawaban untuk fitrah dari model ekonomi Islam, yaitu kepemilikan individual. Tetapi kepemilikan individual di sini tidak sama  sebagai mana yang ada pada kapitalisme yang malah menjerumuskan manusia pada kecintaan materi. Maka kepemilikan individual dalam Islam memiliki batas-batas, ketentuannya, serta kewajibannya sendiri yang nantinya akan saling melengkapi dengan kepemilikan umum sebagaimana disebutkan pada pembahasan sebelum ini.

Kepemilikan individual yang sudah dijelaskan di atas sama sekali tidak bertentangan dengan prinsip kepemilikan mutlak yang dinisbahkan kepada Sang Pencipta Alam. Atau dengan kata lain bahwa pemilik haqiqi sebenarnya Allah. Tidak adanya pertentangan antara kepemilikan haqiqiNya dengan kepemilikan individual manusia sebagai khalifah di atas bumi ini tidak jauh beda dengan kepemilikan ilmu yang dinisbahkan kepadaNya juga. Allah mempunyai sifat al milku (kepemilikan) dan juga sifat-sifat lainnya.

b.      Kepemilikan Umum
Dr. Robi’ Mahmud Ruby menerangkan yang dimaksud dengan kepemilikan umum dalam Islam yaitu segala sesuatu yang bukan merupakan kepemilikan individual.
 Di sini Dr. Robi’ membagi kepemilikan individual menjadi 2:
1.      Kepemilikan negara
Dr. Robi’ menerangkan bahwa yang dimaksud dengan kepemilikan negara di sini bisa diartikan layaknya kepemilikan individual milik negara. Maka yang termasuk dalam golongan ini adalah berbagai firma serta perusahaan atau lembaga-lembaga lain yang mana seorang pemimpin negara atau pejabat pemerintahan mempunyai hak dalam mengelolanya. Tentunya hak ini berasaskan maslahat dari rakyat sang pemimpin tersebut. Sedangkan Dr. Dawabah menambahkan bahwa yang termasuk dalam golongan ini nantinya bisa menjadi sumber pemasukan untuk baitul mal yang kemudian pemerintah menggunakannya untuk hal-hal yang mengandung maslahat umum.
2.      Kepemilikan majemuk dari masyarakat
Sudah maklum bahwa masyarakat merupakan kumpulan dari beberapa orang atau individu. Maka yang dimaksudkan dengan kepemilikan majemuk ini adalah segala jenis sumber daya yang bisa dipergunakan oleh majemuk dari masyarakat dimana tidak ada satu individu yang boleh memilikinya secara pribadi. Diantaranya adalah jalan, air, api, rumput lapang, jembatan dan sumber daya lain yang sejenisnya. Maka dalam bahasa lain bisa diartikan bahwa kepemilikan majemuk di sini adalah sumber daya yang dihasilkan tanpa adanya ikut campur satu orang pun di dalamnya. Selain itu sumber-sumber tersebut bisa didapatkan dengan mudah, ditambah lagi bahwa wujudnya adalah sesuatu yang primer bagi kalangan majemuk.
Inilah sistem Islam yang memadukan antara kepemilikan individual dan kepemilikan umum serta membuat batasan dan aturan antara keduanya. Diantara kelebihannya adalah seputar penetapan zakat, kharraj, jizyah, usyur,  dan lain sebagainya. Dan era kegemilangan Islam pada zaman abbasiyah, khususnya di bawah kepemimpinan Harun ar Rasyid tidak lepas dari peletakan dasar ekonomi Islam yang matang dan rapi serta pelaksanaannya yang penuh amanat. Bahkan diantara syarat untuk menjadi pegawai pajak adalah baik agamanya, amanat, menguasai ilmu fikih dan lain-lain sebagaimana yang disebutkan dalam kitab al Kharraj milik Abu Yusuf.
Tidak heran dengan ketetapan-ketetapan finansial yang berasaskan agama dalam buku al Kharraj menjadikan umat Islam pada masa Abasiyah merasakan kemakmuran yang dahsyat. Tercatat bahwa dari pajak kharraj saja pada masa Harun ar Rasyid mencapai 7 juta dirham dan kemudian meningkat pesat pada masa al Mu’tashim menjadi 30 miliar dirham. Itu baru dihitung dari segi kharraj tanpa memasukkan sumber pendapatan lain dari berbagai macam jenis keuangan publik seperti zakat dan lain sebagainya.




Pengaruh Sistem Ekonomi terhadap Islam

Pengaruh-pengaruh ekonomis ini bisa digolongkan dalam tiga kelompok:
(a) Pengaruh – pengaruh pada konsumsi masyarakat (consumption effects).
(b) Pengaruh – pengaruh pada produksi (production effects).
(c) Pengaruh – pengaruh pada distribusi pendapatan masyarakat (distribution effects).
PENGARUH TERHADAP KONSUMSI
Salah satu pengaruh penting pada konsumsi masyarakat adalah karena perdagangan, masyarakat bisa berkonsumsi dalam jumlah yang lebih besar daripada sebelum ada perdagangan. Ini sama saja dengan mengatakan bahwa pendapatan riil masyarakat (yaitu, pendapatan yang diukur dan berapa jumlah barang yang bisa dibeli oleh jumlab uang tersebut), meningkat dengan adanya perdagangan
Konsep yang sering disebut dengan nama Transformasi adalah proses pengubahan sumber-sumber ekonomi atau barang-barang dalam negeri menjadi barang-barang lain yang bisa memenuhi kebutuhan (konsumsi) masyarakat. Konsep transformasi ini mencakup:
(a) Transformasi melalui produksi, yaitu memasukkan sumber-sumber ekonomi (input) ke dalam pabrik-pabrik dan proses produksi lain untuk menghasilkan barang-barang akhir (output). Inilah “proses produksi” dalam arti yang biasanya kita gunakan.
(b) Transformasi melalui perdagangan, yaitu menukarkan suatu barang dengan barang lain yang (lebih) kita butuhkan. Dan segi arti ekonomisnya menukarkan satu barang dengan barang lain melalui perdagangan adalah juga suatu “proses pengubahan”. tidak ada bedanya dengan proses pengubahan melalui pabrikpabrik (proses produksi). Keduanya mencapal hasil yang sama, yaitu mengubah satu barang menjadi barang lain (yang diang gap lebih bernilai atau lebih dibutuhkan).
Dalam ekonomi tertutup hanya ada satu proses transformasi, yaitu “proses produksi”. Bila perdagangan dibuka, proses transformasi bagi masyarakat menjadi dua macam, yaitu “proses produksi” dan “proses perdagangan/pertukaran”. Inilah sumber dan kenaikan pendapatan riil masyarakat dan perdagangan luar negeri: “ yaitu adanya kemungkinan yang lebih luas (dan lebih menguntungkan) untuk mentransformasikan sumber-sumber ekonomi dalam negeri menjadi barang-barang yang dibutuhkan masyarakat. Jadi menutup kemungkinan transformasi melalui perdagangan adalah sama saja dengan menutup kemungkinan diperolehnya kenaikan pendapatan riil. Berapa besar kenaikan pendapatan riil dan adanya perdagangan seperti yang diuraikan sebelumnya. Hal tergantung pada sampai berapa jauh dasar penukarannya “membaik” setelah ada perdagangan.
Satu lagi pengaruh yang penting dan perdagangan terhadap pola konsumsi masyarakat. Pengaruh ini dikenal dengan nama demonstration effects. Pengaruh terhadap konsumsi yang diuraikan di atas sebenarnya berkaitan dengan peningkatan kemampuan berkonsumsi, yaitu pendapataan riil masyarakat.
Demonstration effects atau “pengaruh percontohan” > adalah pengaruh yang bersifat langsung dan perdagangan terhadap pola dan kecenderungan berkonsumsi masyarakat. Pengaruh ini bisa bersifat positif atau bersifat negatif. Demonstration effects yang bersifat positif adalah perubahan pola dan kecenderungan berkonsumsi yang mendorong kemauan untuk berproduksi lebih besar.
Menurut J.S. Mill bahwa “terutama di negara yang masih pada tahap perkembangan ekonomi yang rendah, ada kemungkinan penduduknya ada dalam keadaan tertidur dan puas diri, dengan perasaan bahwa selera dan keinginan mereka sudah semuanya terpenuhi “
Dibukanya perdagangan luar negeri kadang-kadang bisa mempunyai pengaruh yang serupa dengan ‘revolusi industri’, dengan diperkenalkan dengan barang-barang baru kepada penduduk atau karena terbukanya kemungkinan bagi mereka untuk memperoleh barang-barang yang sebelumnya tak terbayangkan bisa terjangkau oleh mereka .
Demonstrasi effects yang bersifat negatif adalah apabila dibukanya hubungan dengan luar negeri menimbulkan pola dan kebiasaan konsumsi asing yang tidak sesuai dengan tahap perkembangan perekonomian tersebut. Misalnya, masyarakat (dimulai dan golongan yang berpenghasilan tinggi) cenderung untuk meniru gaya dan kebiasaan hidup dan konsumsi dan negara-negara maju lewat “contoh-contoh” yang ditunjukkan lewat media seperti film, televisi, majalah-majalah dan sebagainya. Akibatnya ada kecenderungan bagi masyarakat tersebut untuk berkonsumsi yang “berlebihan” (dilihat dan tahap perkembangan ekonomi dan kemampuan produksi masyanakat) Dengan lain perkataan, propensity to consume menjadi tenlalu tinggi. ini selanjutnya mengakibatkan sumber ekonomi yang tersedia untuk investasi rendah, dan ini berarti pertumbuhan ekonomi yang rendah;
Menentukan apakah pengaruh positif lebih besar dan pengaruh negatif atau sebaliknya, adalah persoalan yang sulit. Kita harus melihat kasus demi kasus. Banyak bentuk pengaruh yang tidak bisa diukur dengan tepat, sehingga unsur subyektivitas (atau kecenderungan ideologis) sering tidak bisa dihindari. Beberapa negara (seperti RRC dan negana-negana sosialis lain) berpendapat bahwa pengarub negatmfnya lebih besar. Menurut mereka dibukanya hubungan luar negeni merangsang kebiasean hidup yang individualistis, pola konsumsi yang mewah dan menggoyahken keyakmnan ideologis masyarakat terhap sistem neqaranya.
Negara-negara Barat yang telah maju dan sejumlah negar-negara sedang berkembang beranggapan sebaliknya, yaitu menganggap bahwa pengaruh negatmfnya tiaak melebihi pengaruh positifnya Sampai sekarang belum bisa diketahul secara pasti apakah tingkat investasi (dan tingkat pertumbuhan) menjadi Iebih rendah atau lebih tinggi dengan adanya perdagangan luar negeri. RRC dan beberapa negara sosialis lain dengan perekonomian yang relatif tertutup, bisa mencapai laju pertumbuhan yang sangat tinggi. Sebaliknya Jepang, Singapura, Korea Selatan, Hongkong, Taiwan yang mempunyal perekonomian terbuka juga bisa mencapai laju pentumbuhan yang sangat mengesankan.
Demikian pula, apakah dibukanya hubungan perdagangan luar negeri menimbulkan pola dan gaya konsumsi masyarakat yang “keliru”, adalah masalah yang sulit dijawab secara tegas. Orang bisa mengatakan bahwa dalam masyarakat yang tertutuppun (seperti masyarakat-masyarakat feodal dimasa lampau) bisa terjadi pola konsumsi yang berlebihan dan pemborosan-pemborosan sosial oleb golongan-golongan masyarakat tertentu. Dan sebaliknya, masyarakat yang terbuka mungkin bersifat hemat dan tidak men unjukkan pola konsumsi yang berlebihan.
Nampaknya ada faktor lain yang lebih menentukan apakah suatu masyarakat adalah masyarakat yang hemat dan berpola konsumsi wajar atau masyarakat yang boros dan berpola konsumsi mewah. Faktor ini adalah pola distribusi kekayaan dan pendapatan yang ada di dalam masyarakat. Pola distribusi yang timpang menimbulkan pola konsumsi yang timpang dan boros, dan mi berlaku baik bagi ekonomi tertutup maupun ekonomi terbuka. Adanya perdagangan luar negeri mungkin membuat ketimpangan pola konsumsi tersebut lebih menyolok, karena mereka yang melakukan konsumsi yang berlebihan cenderung untuk memilih barang-barang “luar negeri” dan gaya hidup “luar negeri”. Namun dalam hal ini masalah pokoknya sebenarnya bukan karena masyarakat tersebut membuka hubungan dengan luar negeri, tetapi karena sejak awal distribusi kekayaan dan pendapatan di dalam negeri memang timpang, dan menutup diri dan percaturan ekonomi dunia tidak menyelesaikan masalah justru sebaliknya.
Singkatnya “demonstration effects” memang ada, tetapi apakah efek negatifnya atau efek positifnya yang lebih menonjol sulit untuk ditentukan secara umum. ini tergantung situasinya kasus demi kasus. Namun kita juga harus berhati-hati dalam menentukan apakah pola konsumsi yang “keliru” memang karena demonstration effects atau sebab-sebab lain.
PENGARUH TERHADAP PRODUKSI
Perdagangan luar negeri mempunyai pengaruh yang kompleks terhadap sektor produksi di dalam negeri. Secara umum kita bisa menyebutkan empat macam pengaruh yang bekerja melalul adanya :
(a) Spsialisasi produksi.
(b) Kenaikan “investasi surplus”.
(c) “Vent for Surplus”.
(d) Kenaikan produktivitas.
Spesialisasi. Kita telah melihat bahwa perdagangan internasional mendorong masing-masing negara ke arah spesialisasi dalam produksi barang di mana negara tersebut memiliki keunggulan komparatifnya.
Dalam kasus constant-cost, akan terjadi spesialisasi produksi yang penuh, sedangkan.
Dalam kasus increasing-cost terjadi spesialisasi yang tidak penuh. Yang perlu diingat di sini adalah bahwa spesialisasi itu sendiri tidak membawa manfaat kepada masyarakat kecuali apabila disertai kemungkinan menukarkan hasil produksiriya dengan barang-barang lain yang dibutuhkan. Spesialisasi plus perdagangan bisa meningkatkan pendapatan riil masyarakat, tetapi spesialisasi tanpa perdagangan mungkin justru menurunkan pendapatan nil dan kesejahteraan masyarakat.
Tetapi apakah spesialisasi plus perdagangan selalu menguntungkan suatu negara? Dalam uraian kita dalam bab-bab sebelumnya, kita menyimpulkan, bahwa pendapatan riil masyarakat sesudah perdagangan selalu lebih tinggi atau setidak-tidaknya sama dengan pendapatan riil masyarakat sebelum perdagangan. ini berarti bahwa perdagangan tidak akan membuat pendapatan riil masyarakat lebih rendah, dan sangat mungkin membuatnya lebih tinggi. Tetapi perhatikan bahwa analisa semacam ini bersifat “statik”, yaitu tidak memperhitungkan pengaruh -pengaruh yang timbul apabila situasi berubah atau berkembang, seperti yang kita jumpai dalam kenyataan.
Ada tiga keadaan yang membuat spesialisasi dan perdagangan tidak selalu berrnanfaat bagi suatu negara. Ketiga keadaan ini berkaitan dengan kemungkinan spesialisasi produksi yang terlalu jauh, artinya adanya sektor produksi yang terlalu terpusatkan pada satu atau dua barang saja. Ketiga keadaan ini adalah:
(a) Ketidak stabilan pasar luar negeri.
Suatu negara yang karena dorongan melakukan spesialisasi perdagangan, hanya memproduksikan karet dan kayu. Apabila harga karet dan harga kayu dunia jatuh, maka perekonomian dalam negeri otomatis akan ikut jatuh.
Lain halnya apabila negara tersebut tidak hanya berspesialisasi pada kedua barang tersebut, tetapi juga memproduksikan barang-barang lain baik untuk ekspor maupun untuk kebutuhannya dalam negeri sendiri. Turunnya harga dan satu atau dua barang mungkin bisa diimbangi oleh naiknya harga barang-barang lain.
Inilah pertentangan atau konflik antara spesialisasi dengan diversifikasi.
1.Spesialisasi bisa meningkatkan pendapatan riil masyarakat secara maksimal, tetapi dengan risiko ketidak stabilan yang tinggi. Sebaliknya
2.diversifikasi lebih menjamin kestabilan pendapatan tetapi dengan konsekuensi harus mengorbankan sebagian dan kenaikan pendapatan dan spesialisasi.
Sekarang hampir semua negara di dunia menyadari bahwa spesialisasi yang terlalu jauh (meskipun didasarkan atas prinsip keunggulan komparatif, seperti yang ditunjukkan oleh teori ekonomi) bukanlah keadaan yangbaik. Manfaatdari diversifikasi harus pula diperhitungkan.
(b) Keamanan nasional.
Apabila suatu negara hanya memproduksikan satu barang, misalnya karet, dan harus mengimpor seluruh kebutuhan bahan makanannya Meskipun karet adalah cabang produksi di mana negara tersebut memiliki keunggulan komparatif yang paling tinggi, sehingga bisa meningkatkan pendapatan riil masyarakat setinggi mungkin, tentunya keadaan seperti di atas tidak sehat. Seandainya terjadi perang atau apapun yang menghambat perdagangan luar negeri, dan manakah diperoleh bahan makanan bagi penduduk negara tersebut? Jelas bahwa pola produksi seperti yang didiktekan oleh keunggulan komparatif tidak harus selalu dilkuti apabila ternyata keiangsungan hidup negara itu sendiri sama sekali tidak terjamin.
(c) Dualisme.
Sejarah perdagangan internasional negara-negara sedang berkembang terutama semasa mereka masih menjadi koloni negara-negara Eropa, ditandai oleh timbulnya sektor ekspor yang beronientasi ke pasar dunia dan yang sedikit sekali berhubungan dengan sektor tradisional dalam negeri. Sektor ekspor seakan-akan bukan merupakan bagian dan negeri itu, tetapi bagian dan pasar dunia. Dalam keadaan seperti ini spesialisasi dan perdagangan internasional tidak memberi manfaat kepada perekonomian dalam negeri.
Keadaan ini di negara-negara sedang berkembang setelah kemerdekaan mereka, memang sudah menunjukkan perubahan. Tetapi Seiring belum merupakan perubahan yang fundamental. Sektor ekspor yang’“modern” masih nampak belum bisa menunjang sektor dalam negeri yang “tradisional”
Ketiga keadaan tersebut di atas adalah peringatan bagi kita untuk tidak begitu saja dan tanpa reserve menerima dalil perdagangan Neo-Klasik bahwa spesialisasi dan perdagangan selalu menguntungkan dalam keadaan apapun. Tetapi di lain pihak. uraian di atas tidak merupakan bukti bahwa manfaat dari petdagangan tidaklah bisa dipetik dalam kenyataan. Teori keunggulan komparatif masih menjadi tahapan dasarnya, yaitu bahwa suatu negara seyogyanya memanfaatkan keunggulan komparatif dan kesempatan “transformasi lewat perdagangan” Hanya saja perlu diperhatikan bahwa dalam hal-hal tertentu pentimbangan pertimbangan lain jangan lupaken.
Investible Surplus Meningkat. Pendagangan meningkatkan pendapatan riil masyarakat. Dengan pendapatan riil yang lebih tinggi berarti negara tersebut mampu untuk menyisihkan dana sumber sumber ekonomi yang lebih besar bagi investasi (inilah. yang disebut “investible surplus”). investasi yang lebih tinggi berarti laju pertumbuhan ekonomi ‘yang lebih tinggi. Jadi perdagangan bisa mendorong laju pertumbuhan ekonomi.
lnilah inti dan pengaruh pendagangan internasional tenhadap produksi lewat investible surplus. Ada tiga hal mengenai penganuh ini yang perlu dicatat:
(a) Kita harus menanyakan berapa dan manfaat perdagangan (kenaikan pendapatan nil) yang diterima oleh warganegara riegara tersebut, dan berapa yang diterima oleh warganegara asing yang memiliki faktor produksi, misalnya modal, tenaga kerja, yang dipekerjakan di negara tersebut. Dengari lain perkataan. yang lebih penting adlah berapa kenaikan GNP, bukan kenaikan GDP. yang ditimbulkan oleh adanya perdagangan.
(b) Kita harus menanyakan pula berapa dan kenaikan pendapatan nil karena perdagangan tersebut akan diterjemahkan menjadi kenaikan investasi dalam negeri, dan benapa ternyata dibelan jakan untuk konsumsi yang lebih tinggi atau ditransfer ke luar negeri oleh perusahaan-perusahaan asing sebagai imbalan bagi modal yang ditanamkannya? Dan segi pertumbuhan ekonomi yang penting adalah Icenaikan investasi dalam negeri dan bukan hanya “investible surplus”nya.
(c) Kita harus pula membedakan antara “pertumbuhan ekonomi” dan “pembangunan ekonomi”. Disebutkan di atas bagaimana dualisme dalam struktur perekonomian bisa timbul dan adanya perdagangan internasional. Dimasa lampau, dan gejala-gejalanya masih tersisa sampal sekarang, kenaikan investible surplus tersebut cenderung untuk diinvestasikan di sektor “modern” dan hanya sedikit yang mengalir ke sektor “tradisional”. Pertumbuhan semacam mi justru semakin mempertajam dualisme dan perbedaan antara kedua sektor terebut. Dalam hal ini kita harus berhati-hati untuk tidak mempersamakan pertumbuhan ekonomi dengan pembangunan ekonomi dalam arti yang sesungguhnya.
Inti dari uraian di atas adalah bahwa kenaikan investible surplus karena perdagangan adalah sesuatu yang nyata. Tetapi kita harus mempertanyakan Lebih lanjut siapa yang memperoleh manfaat, berapa besar manfaat tersebut yang direalisir sebagai investasi dalam negeri, dan adakah pengaruh dan manfaat tersebut terhadap pembangunan ekonomi dalam arti yang sesungguhnya.
Vent For Surplus > Menurut Smith, perdagangan luar negeri membuka daerah pasar baru yang lebih luas bagi hasil-hasil dalam negeri. produksi dalam negeri asing semula terbatas karena terbatasnya pasar di dalam negeri, sekarang bisa diperbesar lagi. Sumber-sumber ekonomi yang semula menganggur (surplus) sekarang memperoleh saluran (vent) untuk bisa dimanfaatkan, karena adanya daerah pasar yang baru.
Konsep “vent for surplus” adalah bahwa pertumbuhan ekonomi terangsang oleh terbukanya daerah pasar yang baru. Sebagai contoh, suatu negara yang kaya akan tanah pertanian tetapi berpenduduk relatif sedikit. Sebelum kemungkinan perdagangan dengan luar negeri terbuka, negara tersebut hanya menghasilkan bahan makanan yang cukup untuk menghidupi penduduknya dan tidak lebih dan itu. Banyak tanah yang sebenarnya subur dan cocok bagi pertanian dibiarkan tak terpakai. Dengan adanya kontak dengan pasar dunia, negara tersebut mulai menanam barang-barang perdagangan dunia seperti lada, kopi, teh, karet, gula dan sebagainya dengan mernanfaatkan tanah pertanian yang menganggur tersebut. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi meningkat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar